Iklan

TONGKAT DARI BAPAK STENGAH BAYA

TONGKAT DARI BAPAK STENGAH BAYA

oleh:




Hujan malam ini terpaku aku menatap langit yang selalu menangis di awal juni.
Munajat para Kiai nan elok di Amini oleh Tuhan melalui Jbril
Menatap binar mata yang tak lagi jernih
Tersenyum ia menatap lamunan anak kecil di penghujung kota..

Reruntuhan tak lagi elok..
Guratan puing runtuhkan harap..
Berspekulasi dengan waktu yang terus berlari mengitari matahari
Seraya bermimpi di kabut pekatnya emosi

Ratapanku kini telah berubah layaknya siang berganti malam
Di ufuk senja menanti fajar yang tak kunjung datang
Membesarkan balon udara yang semakin rapuh saat terus ditiup
Serasa nuklir yang meluluh lantahkan sebuah negri

Tak ada lagi nyanyian tentang cinta
Tak ada lagi gelak tawa akan makna
Tak ada lagi senda gurau kegalauan
Tak ada lagi kesempatan tanpa kehati-hatian

Indonesia sekarang tak lagi raya
Semiskin jiwa yang tak lagi kaya
Pelipur lara tak lagi senyawa
mengumpatku untuk terus tertawa


Bolehkah aku memandang bulan dikala hujan, Tuhan???!


Pantaskah aku menatap cahaya saat aku terjerembab, Tuhan???!


Bolehkah aku menengadahkan tanganku yang penuh dosa ini, Tuhan???!



Ataukah aku harus menjadi neraka di surgaMu ini, Tuhan???!

Miskinnya hati ini lupa akan syukur
Terasa hambar saat hati ini melupakan iman
Terjatuhnya aku melalaikan jalan keselamatan

Tak pantas aku menitihkan air mata
Karna aku orang yang melalaikan jalan
Tongkatku pun kembali patah saat badai topan melanda
Meluluh lantahkan semua akhlaq yang tak lagi tertata


Aku sadar...
Bahwa hidup ini sekeras batu karang


Aku sadar... Tuhan...
Bahwa kehakikian takdirmu tak dapat merubah nasib


Bolehkah aku mengikuti saran KitabMu? Berisikan buku petunjuk Makhluk bernama “Manusia”?

Dan kala aku tersesat mencari jalan
“sujudlah engkau wahai anakku”
Kata Sang Lelaki separuh baya dengan senyum lebarnya memaki peci hitam lengkap dengan sorbannya
Memapahku yang berkalungkan kalung dan rantai khasnya seorang pendusta yang tersungkur di lubang kotoran

“Berhentilah, untuk meratapi hari lalu”
“Berhentilah, untuk menyalahkan dirimu”
“Berhentilah, untuk menerawang massa didepanmu”


Tertegun ,,
Terhenyak,
Terengah nafasku
Memaksaku diruang kosong


“jadikan hari lalu sebagai kacamu”
“jadikan hari ini untuk ikhtiarmu”
“Jadikan massa depanmu penuntun arah agar kau tak tersesat”


Teratur nafas ini mendengar nyanyian sang bapak setengah baya
Menangis sejadi-jadinya layaknya bayi melihat dunia
Karna aku tak lagi seperti dulu yang suci


“bawa Tongkat ini, sebagai penyembuh Lukamu”
“bawa Tongkat ini, sebagai pemukul Lalaimu”
“bawa Tongkat ini, sebagai pijakan membantumu berdiri”
“bawa Tongkat ini, sebagai peraba langkahmu kedepan yang tak pasti”




Bapak setengah baya menawarkanku seteguk air keikhlasan
Dan aku coba meminum paitnya ikhlas yang terasa manis sesampainya di palung hati


Akupun dapat melihat,,
 Akupun dapat meraih mutiara yang selalu tersedia dihadapanku


Dulu aku buta sehingga tak menyadarinya

Kini aku terasadar untuk hidup kita membutuhkan Tongkat

Untuk hidup kita Membutuhkan Air

Untuk hidup kita membutuhkan Cahaya

Untuk bekal hidupku saat ini


Dan menatap pelangi esok hari
LihatTutupKomentar

Iklan